DONGGALA DALAM PENANTIAN

oleh -
oleh
Dr. H. Asri Asten, M.Pd

Dr. H. Asri Asten, M.Pd (Pemerhati Sosial, dosen UNM Makassar)  – Berbicara tentang Donggala sebagai ibu kota kabupaten yang sering ditayangkan, baik televisi swasta yang berskala nasional maupun di TVRI lokal, saya salah seorang putra daerah yang berdomisi di luar Kabupaten Donggala dan juga di luar Propinsi Sulawesi Tengah merasa bangga dan terharu dengan kelebihan yang dimiliki, seperti Tanjung Karang dengan pasir putihnya, tenunan sarung donggalanya yang sudah merambah ke tingkat nasional,  hutannya (terletak di pantai barat Donggala) dipenuhi potensi yang merupakan kekayaan alam, ada bebatuan yang merupakan bahan semen putih serta di perbatasan Propinsi Sulbar yaitu di Surumana (Kecamatan Banawa Selatan) ada potensi minyak, yang kesemuanya itu menurut bayangan orang daerah yang berdomisili di luar sangat bersyukur dan berdo’a semoga Pemda dapat menjaga dan mengembangkannya demi kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara, sedangkan para investor merasa tergiur dan terpanggil untuk berlomba-lomba dalam menanamkan modalnya.

Memang hal ini harus diakui, bahwa rasa kebanggaan dan keterharuan anak daerah yang berdomisili di luar menjadi buyar dan kecewa, sedangkan ketergiuran para investor untuk  menanamkan sebagian modalnya di Donggala mengurungkan kembali niatnya, karena kenyataannya “jauh panggang dari api”, “mengapa demikian?” Hal tersebut mungkin dikarenakan antara lain: pertama, terhadap pengolahan potensi alam, terkadang kurang harmonisnya hubungan antara masyarakat dengan pemerintahnya dan tidak transparan, akibatnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat, misalnya saja masyarakat selalu dijadikan sebagai tumbal atau obyek dalam artian peran sertanya dalam pembangunan kurang atau sama sekali tidak ada; kedua, terhadap kurang berminatnya para investor untuk menanamkan modalnya, karena investor tidak melihat adanya roda perputaran ekonomi, ini disebabkan karena pegawai Pemda tidak berdomisili di ibu kota kabupaten (Donggala), artinya uang tentu tidak beredar di Donggala dan banyak beredar di Palu dan pada akhirnya daya beli masyarakat Donggala kurang; ketiga, terhadap kebanggaan adanya sarung sutra tenunan donggala yang sudah mulai hilang/punah di Donggala, karena kurangnya pengkaderan/pemberdayaan sehingga sekarang tenunan sarung donggala lebih banyak di produksi di daerah yang  masuk Kota Palu; keempat, terhadap masyarakat sendiri, rendahnya motivasi untuk mengembangkan wawasan dan kompetensinya, sehingga mulai muncul pola pikir masa bodoh, merasa puas dengan keadaan yang ada (yang penting bisa makan) dan mengarah ke pola hidup yang konsumtif dan pada akhirnya sangat mudah untuk diperdayakan atau dibodohi;  kelima, terhadap jajaran Pemda, tidak adanya  perencanaan yang matang, sehingga dalam membangun daerah maupun penyelesaian masalahnya tidak  menggunakan lagi skala prioritas. Renstra maupun Masterplan daerah tidak jelas apa yang ingin dicapai 5 sampai 10 tahun ke depan; dan keenam, terhadap jajaran legistalif, tidak berfungsinya wasleg yang merupakan fungsi para anggota DPRD Kabupaten untuk memberikan pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan dalam rangka memperbaiki dan memberdayakan masyarakat, utamanya masyarakat yang butuh dan yang termarjinalkan serta kurang pekanya terhadap nasib para kontituennya, dan dalam benak masing-masing  anggota adalah: “yang penting bagaimana mengamankan diri sendiri” serta telah melupakan apa yang Allah SWT Firmankan dalam Surat “Al-Qiyamah:36, yang kira-kira artinya; “Apakah manusia mengira bahwa dia tidak dimintakan pertanggung jawaban?”, yakin, yakinkah kita.

 

Kota Donggala di Masa Depan

 

Wacana Bapak Bupati yang berkehendak untuk menjadikan Donggala sebagai “Kota Administrasi” merupakan suatu perlakuan yang sangat memilukan hati atau sangat melukai perasaan dan malah terlalu menganggap rendah masyarakat Donggala (menganggap warga Donggala sudah tidak bernyali, tidak memiliki wawasan/kemampuan, dan mungkin mengira warga Donggala semua bodoh), sehingga dapat dibodohi.

Wahai saudaraku masyarakat Kota Donggala, sadarkah kalian akan hal tersebut dan masih adakah kebanggaan saudara terhadap Donggala yang pernah gaungnya membawa Sulawesi Tengah harum dengan tokoh-tokohnya seperti, Laduddin, Syukri Maien, Andi Cella Nurdin, Lamarauna, Malonda, Pettalolo yang disegani oleh penjajah; Ahmad Broo, Taha Bachmid, Said Haerollah yang disegani oleh legendaris bola kaki yaitu Ramang, H. Muhammad Said (Neneknya Pasa/Ungu) bersaudara sebagai “pelaku ekonomi” dan mungkin masih ada yang belum sempat teringat ataukah memang sudah saatnya menurut saudaraku Kota Donggala ini harus “Mati/Punah”, itu semua terpulang pada kemauan dan kemampuan kita untuk mempertahankannya.

Dalam hubungannya dengan hal tersebut, brangkali perlulah kita merenungkan dan mencermati sematang-matangnya tentang apa sebenarnya yang telah terjadi dan mungkin insya Allah akan terjadi di tahun-tahun berikutnya. Seperti, munculnya wacana dari Bapak Bupati; seperti, ingin menjadikan Donggala sebagai “Kota Administrasi”, pola hidup yang konsumtif dan  pola hidup yang bermewah-mewahan; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); menipisnya rasa kepekaan sosial; susahnya menegakkan keadilan dan kejujuran; pemerkosaan, pelacuran, perjudian, kekerasan, dan pencurian dilakukan secara terang-terangan dengan tanpa rasa malu; pembunuhan karakter dan pembohongan publik (dikalangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif maupun dikalangan masyarakat sendiri); sogok-menyogok dan suap-menyuap maupun tawar-menawar untuk mendapatkan jabatan (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Kades, dan sampai-sampai pada jabatan karier — struktural dan fungsional) yang dilakukan secara terbuka. Fenomena tersebut merupakan pertanda semakin anjelok dan rapuhnya nilai-nilai moral serta manusia tidak bersandar lagi pada tuntunan agama.

Kaitannya dengan suksesi yang akan menakhodai sebuah kabupaten, rasanya kita terlalu sering berbicara atau melihat terhadap siapa orangnya dan bagaimana kekuatan materinya untuk membeli kendaraan (partai), namun kita sering melupakan apa dan bagaimana bentuk/gaya maupun nawaitunya sebagai pemimpin yang  diharapkan oleh rakyat sekaligus dapat diharapkan meminimalisasi dan mampu menjawab sejumlah tantangan berat yang ada dihadapannya.