Profil Guru Tua, Ulama Besar yang Namanya Santer Diperbincangkan

oleh -
oleh
Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, (Guru Tua) pendiri yayasan Alkhairaat. Foto: Ist

PosRakyat – Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, atau yang lebih dikenal sebagai Guru Tua, kembali menjadi perbincangan publik setelah namanya disebut dalam pernyataan kontroversial oleh Fuad Plered di Yogyakarta. Sosok ulama besar ini merupakan tokoh penting dalam penyebaran pendidikan Islam di Timur Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah.

Guru Tua lahir pada 15 Maret 1892 dan wafat pada 22 Desember 1969. Ia berasal dari keluarga Sadah Ba’Alawi, sebuah keturunan yang dikenal memiliki tradisi keilmuan Islam yang kuat. Sepanjang hidupnya, Guru Tua dikenal sebagai pecinta ilmu yang tak hanya menimba ilmu untuk dirinya sendiri, tetapi juga berkomitmen membagikannya kepada masyarakat luas.

Sebagai bukti kecintaannya terhadap ilmu, pada usia 41 tahun, ia mendirikan Alkhairaat, sebuah lembaga pendidikan Islam yang menjadi cikal bakal berkembangnya jaringan sekolah Islam di berbagai daerah di Indonesia timur. Hingga kini, lembaga ini tetap menjadi salah satu pilar pendidikan Islam di Sulawesi Tengah dan sekitarnya.

Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, nama Guru Tua diabadikan sebagai nama Bandara Mutiara SIS Al-Jufri Palu. Sebelumnya, bandara ini dikenal dengan nama Bandara Mutiara, yang diberikan oleh Presiden Soekarno.

Baca Juga: Gubernur Sulteng Sambut Menteri BP2MI di Palu, Bahas Perlindungan Pekerja Migran

Baca Juga: Bupati Donggala Canangkan Program “Satu Desa, Satu Hafiz Qur’an” dalam 100 Hari Kerja

Perubahan nama ini secara resmi dilakukan pada 28 Februari 2014, setelah Menteri Perhubungan Evert Ernest Mangindaan menandatangani surat keputusan perubahan nama bandara. Peresmian ini turut disaksikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah saat itu, Longki Djanggola, serta berbagai pejabat daerah dan keluarga besar Alkhairaat.

Penamaan bandara ini menjadi bentuk penghormatan atas perjuangan Guru Tua dalam menyebarkan ajaran Islam serta mendidik generasi muda di kawasan timur Indonesia.

SILSILAH

As-Sayyed Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri Al-Husain Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina Husain bin Fatimah Az-Zahra Puteri Rasulullah SAW.

HAFAL ALQURAN UMUR 12 TAHUN

Habib ldrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 15 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1892 M. Sayyid Idrus adalah putra keempat dari enam bersaudara, beliau berasal dari keluarga yang baik, berilmu, beramal, bertaqwa dan lemah lembut. Tiada dari kalangan mereka, selain ulama yang muslih dan da’i.

Ayahnya Habib Salim seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang ilmu, ia memegang jabatan Qadhi dan mufti di negerinya.

Kakeknya, Habib Alwi adalah pemimpin dan ilmuwan yang masyhur, termasuk lima ahli fiqh Hadramaut yang fatwa mereka termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyed Abdurrahman AlMasyhur.

Kakeknya yang kedua, Al-Habib Saqqaf di antara ulama yang terkenal dari dua faqih dan memegang jabatan Qadhi di Hadramaut. Ibunya, Syarifah Nur Aljufri (Andi Syarifah Nur), mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Dini Aprilya atau Raja yang dituakan di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari ayahnya, Al-Allamah Salim bin Alwy Aljufri, termasuk pula ulama-ulama lain yang berada di Hadramaut. Beliau hidup dan besar dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan menimba ilmu dari sumber yang murni.

Habib Idrus sering kali diajak oleh ayahnya untuk menghadiri lingkaran studi majelis ta’lim di Taris dan Tarim. Pada usia 12 tahun, Habib Idrus mampu menghafal Al-Qur’an dan menguraikan dua ratus ayat dalam hal hukum Islam.

Melihat Potensi yang dimiliki Habib Idrus, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliau pun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib ldrus kemudian mendalami berbagai llmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra.

Selain pada ayahnya, Habib ldrus juga berhasil menyelesaikan pendidikan formalnya pada lembaga perguruan tinggi Ari-Rabithul Alawiyah di Taris, dan banyak memiliki karya-karya dalam bentuk syair-syair berbahasa Arab.[4] Pada usianya yang tergolong amat muda, kurang lebih berusia 19 tahun, ia telah menjadi seorang ulama yang terkenal di tanah airnya. Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di Hadramaut, di antaranya adalah:

  1. Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf,
  2. Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf,
  3. Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih,
  4. Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar,
  5. Al-Habib ldrus bin Umar Al-Habsyi, dan
  6. Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.

Berangkat ke Mekkah

Kemudian pada tahun 1327 H atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib ldrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu, Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk meminta berkah, do’a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Mekkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut.

Diangkat sebagai Mufti dan Qadhi

Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan tahun 1916, ayahnya wafat. Habib Idrus kemudian memimpin lembaga pendidikan yang didirikan oleh ayahandanya. Dan pada tahun itu pula Habib ldrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, untuk menggantikan posisi ayahnya, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.

Amanah dan pencapaian itu mengisyaratkan bahwa beliau adalah orang yang berilmu pengetahuan luas dan berwibawa. Walau jabatan sudah di tangan, Idrus muda tak pernah silau dengan keduniawian. Ia tetap kritis terhadap lingkungan sosial di negerinya. Bahkan, ia rela melepas jabatan mufti ketika memilih jalan menentang imperialisme Inggris. Sikap itu pula yang kemudian membawanya datang untuk kali kedua ke Indonesia. Perjalanannya yang kedua pada tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris.

Hijrah ke Indonesia

Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17 tahun. Habib salim membawa Habib ldrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur AI-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib ldrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia.

Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib ldrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Setibanya di Hadramaut, Habib ldrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau. Dan Kemudian menikah dengan Syarifah Bahiyah dan dikaruniai tiga orang putra dan putri, yaitu Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan.

Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan lnggris. Beliau bersama sahabatnya Habib Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan sekutunya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan sekutunya dan mereka adalah orang yang pertama kali menghidupkan api tersebut.

Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan Negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk mengubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total.

Dengan mengemban tugas politik yang sangat berbahaya itu, Maka Habib Idrus menyusun suatu rencana untuk tujuan menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan dengan cara keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir.

Beliau menyadari risiko yang dapat mengancam jiwanya, karena intelijen negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya terhadap langkah yang akan ditempuh nya akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan.

Rencana dan segala perlengkapan yang telah disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut, hampir membuahkan hasil jika tidak dibocorkan rahasianya oleh pengkhianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi.

Beliau di tangkap tiba-tiba setelah sampai di pelabuhan Aden, kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintahan Inggris untuk keluar dari pelabuhan Aden untuk tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia, sedangkan sahabatnya, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah Assagaf memilih kembali ke Mekkah.

Dalam buku Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Alkhairaat disebutkan bahwa Indonesia bukan negeri asing dan baru bagi Sayyid Idrus, Ia pertama kali datang ke negeri ini pada saat berumur kurang lebih 17 tahun bersama ayahnya dengan maksud mengunjungi sanak keluarga yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi.

Kunjungan keduanya pada tahun 1922 berkaitan erat dengan sikap dan perlawanannya yang keras terhadap imprealisme Inggris di negerinya, pilihan ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.

Pekalongan

Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya Syarifah Aminah binti Thalib Al-Jufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan.

Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah.

Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh AI-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr. H. Salim Segaf Al-Jufri, Menteri Sosial Indonesia ke-26 dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman Periode 2005-2009. Habib Idrus kemudian meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo.

Di Solo, dengan dibantu oleh Sayid Ahmad bin Muhammad (mantan muridnya di Hadramaut) yang sudah lama mukim di Solo, mewujudkan niatnya untuk mendirikan madrasah yang diberi nama “Perguruan Arrabithah Alawiyah”. Beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah. Setelah beberapa tahun beliau pindah ke Jombang dan tinggal beberapa lama di sana.

Pada tahun 1926, beliau pindah ke kota Jombang. Habib Idrus berkenalan dengan beberapa tokoh Islam di antaranya K.H. Hasjim Asy’ari pendiri organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU) di Jombang yang juga pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng.