Profil Guru Tua, Ulama Besar yang Namanya Santer Diperbincangkan

oleh -
oleh
Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, (Guru Tua) pendiri yayasan Alkhairaat. Foto: Ist

Pertemuan kedua tokoh ini menjalin persahabatan yang sangat baik, karena keduanya sama-sama pimpinan agama, terutama karena keduanya mempunyai ikatan pemahaman yang sama yakni sebagai penganut paham Imam Syafi’I (ahli sunnah wal-jamaah).

Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah. Antara lain di Maluku dan menetap untuk beberapa bulan lamanya sambil melakukan lawatan dan dakwah bebeberapa wilayah kecamatan seperti Bacan, Jailolo, Morotai, Patani, Weda, Kayoa dan sebagainya, selanjutnya ke Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Kalimantan dan Irian Barat.

Beliau kemudian berlayar menuju Manado, atas ajakan kakak beliau Habib Alwi bin Salim Aljufrie yang berada di Manado. Ketika kapalnya singgah bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani, Kabupaten Donggala, pada 1929, Habib ldrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.

Setibanya di Manado, Habib ldrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib ldrus yang akan mengusahakannya.

Pada tahun 1930 M Guru Tua pun pindah ke Kota Palu yang kala itu bernama “Celebes” pada masa penjajahan Belanda, setelah mendapat undangan dari beberapa tokoh bangsa Arab di Palu dan Wani yakni Ibrahim bin Zain, Sayid Muhammad bin Muhsin Rifai dan Sayid Ahmad bin Ali Almuhdar di Wani Kecamatan Tawaeli.

Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik, menggunakan ruangan Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan kemudian pindah ke rumah Almarhum Haji Daeng Maroca di Kampung Baru (Depan Masjid Jami-Kampung Baru).

Rupanya di Palu inilah memberikan inspirasi yang kuat untuk tinggal dan menetap dalam rangka melakukan dakwahnya setelah menyaksikan keadaan masyarakat yang masih sangat terbelakang dalam pemahaman ajaran Islam.

Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Donggala tidak memberikan izin pendirian madrasah karena dianggap bisa memengaruhi pemikiran rakyat saat itu, sebagian pengikut Guru Tua di Wani dituduh terlibat pemberontakan Salumpaga di Tolitoli.

Guru Tua akhirnya mendirikan sekolah di Palu, sekitar 30 kilometer dari Wani. Madrasah tersebut bernama Alkhairaat dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus perizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah AI-Khairaat di Kota Palu.

Kepindahan perguruan Alkhairaat ke Palu tidak serta merta bebas dari pengawasan Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda dikabarkan juga sempat melarang Perguruan AlKhariraat karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber dari kitab Izhatun Nasyi’in, karya Musthafa Al-Ghalayani.

Salah satu strategi yang digunakan agar cepat diterima masyarakat Palu, Sayid Idrus menerima saran dari beberapa tokoh masyarakat, Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan Yayasan Alkhairaat Pusat. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah SWT pada tahun 1931 M Guru Tua pun menikahi Intje Ami Dg.Sute. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang puteri, Syarifah Sidah Aljufrie dan Syarifah Sa’diyah Aljufrie.

Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah AI-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid AI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini.

Salah satu murid beliau yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijrah dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang.

Tahun 1968, Habib Idrus mengalami sakit parah, selama delapan bulan beliau meminum jus kurma. Walaupun dalam keadaan sakit, ia tetap menjalankan majelis mengajar setiap waktu. Masih dalam suasana ldul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib ldrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat.

Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib ldrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di liang lahat, muadzin di liang lahat, sampai yang membaca talqin di kubur.

Habib ldrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Maluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan kendaraan lainnya bahkan dengan berjalan kaki dengan bermacam risiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat.

Akan tetapi Habib ldrus selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun. Ketabahannya dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.

Hingga akhir hayatnya, Sayid Idrus berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Sulawesi Tengah.

WARISAN

Bangunan sekolah yang pertama dibangun atas biaya beliau sendiri di kota Palu, merupakan sekolah Islam pertama di Palu dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang hingga ratusan madrasah tersebar di kota-kota dan kampung-kampung bagian Timur Indonesia yang diberi nama “ALKHAIRAAT”, dengan harapan optimis dan keberkatan dari nama tersebut yang banyak kali disebut dalam Al-Qur’an.

Secara resmi madrasah tersebut dibuka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan dengan 11 Juni 1930. Peresmian itu dihadiri oleh para pemuka Arab yang tinggal di Palu dan sebagian petinggi negara. Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib ldrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali.

Hal ini karena Habib ldrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib ldrus memberikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.

“Segala puji hanya bagi Allah, Alkhairaat makmurlah sudah, Di dalamnya tempat para patriot dan kawula muda satria, Wahai masyarakat lembah Palu Alkhiaraat itu almamatermu, Senantiasa mengajak siapa saja yang berhasrat datang kepadanya, Alkhairaat punya kita beragam ilmu ada padanya, Cukupkan dirimu darinya janganlah menjadi ibarat orang bangkrut, Dari tempat nun jauh cahayanya tanpak bagi mereka, Yang mendapat petunjuk dan tiada akan melihat cahaya kalbu yang buta.”

Habib Idrus, 1930

Habib ldrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan AI-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan lrian Jaya.

Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan AI-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib ldrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya.

Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajaran dialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya. Para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi.

Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib ldrus kembali membuka perguruan AI-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.

Waktu terus berjalan tahun berganti tahun hingga pada tahun 1950-an Sayid Idrus mulai mengembangkan pendidikan Islam Alkhairaat ini membuka berbagai jenis pendidikan dan strata di antaranya Ibtidaiyah, Muallimin empat tahun, dan enam tahun, Madrasah Lanjutan Pertama (MLP), setara dengan SMP, Pendidikan Guru Agama (PGA), serta Perguruan Tinggi Islam (UNIS) pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Dan Habib ldrus sebagai Rektor pertamanya.

Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi AI-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi AI-Khairaat dibuka kembali.

Sejak berdiri tahun 1930, saat ini Alkhairaat telah menaungi sekitar 1.700 madrasah, 43 pondok pesantren dan satu perguruan tinggi, Lembaga pendidikan tersebut masih eksis beroperasi yang tersebar di 12 Provinsi dan 84 kabupaten/kota. Selain itu Alkhairaat juga memiliki rumah sakit yang dikelola secara mandiri. Saat ini ratusan ribu guru telah tersebar di pelosok-pelosok kampung untuk mengabdikan diri mereka mengembangkan Alkhairaat.

Al-Khairaat saat ini merupakan lembaga sosial keagamaan terbesar di kawasan Timur Indonesia yang berpusat di kota Palu yang memiliki puluhan cabang di kabupaten/kota dan provinsi.

Bagi warga (Abna’) Alkhairaat, setiap tahun setelah hari raya Idul Fitri, tepatnya 12 Syawal, merupakan hari istimewa. Ribuan umat Islam dari berbagai daerah di kawasan Indonesia timur dan sebagian barat berduyun-duyun datang ke Palu, Sulawesi Tengah.

Tujuannya yaitu menghadiri acara haul (peringatan wafatnya) tokoh dan tonggak Islam di kawasan Indonesia Timur, Guru Tua Alhabib Idrus bin Salim Al Djufri. Di sinilah, penebar Islam asal Hadramaut yang juga merupakan turunan Rasulullah saw, menghabiskan separuh usianya di Indonesia, dimakamkan.

Pada tahun 2003, dikabarkan belasan ribu umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia memperingati Haul ke-34 H. Sedangkan pada tahun 2006, Hampir seluruh pejabat sipil dan militer se-provinsi Sulteng hadir pada acara ini, di antaranya Gubernur Sulteng HB Paliudju, Ketua DPRD Sulteng Murad Natsir, Wali kota Palu Rusdi Mastura, Ketua DPRD Kota Palu Mulhanan Tombolatutu dan Bupati Donggala Ardjad Lamarauna. Bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, berbaur bersama ribuan Abnaul Alkhairaat.

Kemudian pada Haul Guru Tua ke-42 dihadiri Mensos Salim Segaf Al-Jufri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Kadir Karding, Pimpinan FPI Habib Rizieq, Azyumardi Azra serta sejumlah pejabat pemerintah daerah dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia.

Pada tahun 2013, pada acara haul ke-45, Haul tersebut dihadiri 50 ribu abnaulkhairat atau jamaah dan simpatisan al-Khairat. Ketua Umum al-Khairat pada saat itu, Habib Ali bin Muhammad bin Idrus al-Jufri mengatakan, haul bertujuan mengingat sejarah. “Lewat haul, kita mengenang perjuangan Guru Tua dalam dakwah dan pendidikan.”

Guru Tua merupakan sosok pendidik gigih. Beliau gemar mengajar dan menyayangi murid-muridnya. Selain itu, Guru Tua juga sangat mencintai ilmu. Selama ini, beliau terkenal dengan kemampuannya dalam ilmu syariah dan syair. Syair-syairnya dalam bahasa Arab pun selalu dibacakan saat perayaan haul.