Senin, Ribuan Korban Likuifaksi Balaroa Demo Pemerintah Tuntut Keadilan 

oleh -
oleh
Forum Korban Likuifaksi Kelurahan Balaroa menggelar pertemuan persiapan aksi unjuk rasa untuk menuntut keadilan, Jumat, 11 Januari 2019 malam. (Ist)

Palu, Posrakyat.com – Seratus hari pascabencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi menimpa Palu, Sigi dan Donggala (pasigala) sebagian besar masyarakat masih tinggal di tenda – tenda pengungsian. Olehnya itu, ribuan warga kelurahan Balaroa, kecamatan Palu Barat, kota Palu, Sulteng, yang menjadi korban gempa dan likuifaksi tersebut akan melakukan aksi unjuk rasa guna menuntut hak dan keadilan dari pemerintah, karena hingga saat ini belum ada kepastian terhadap warga. Adapun rencana aksi tersebut akan digelar pada senin, 14 Januari 2019.

Indikatornya sangat jelas, pembangunan hunian sementara (Huntara) terhadap ribuan kepala keluarga (KK) warga Kelurahan Balaroa, di lokasi Sport Center, belum juga direalisasikan. Kalaupun ada, yang dibangun di wilayah Kelurahan Duyu, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan di kalangan warga. Karena diketahui, banyak pula warga Duyu yang menjadi korban, sehingga terpantaskan jika mereka yang mendiami hunian sementara tersebut.

Apalagi komitmen warga Kelurahan Balaroa, tidak mau direlokasi ke wilayah lain. Belum lagi terkait hak-hak keperdataan warga atas 47,5 hektar lahan yang terdampak likuifaksi yang hingga ini belum ada kejelasan. Intinya warga Balaroa menginginkan penghidupan yang layak.

Ketua Forum Korban Likuifaksi Kelurahan Balaroa, Abdurrahman M Kasim, SH, MH menegaskan, bahwa aksi demonstrasi ini sebagai bentuk protes terhadap pemerintah dan negara yang tidak memiliki seance of crisisbagi warga Kelurahan Balaroa.

“Kami ingin menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan negara. Bencana gempa dan likuifaksi sudah lebih dari 100 hari berlalu, tapi hak-hak korban belum juga dipenuhi. Apakah kami sebagai korban akan terus menetap di tenda-tenda dan selter serta tempat pengungsian lain,” ujarnya pada pertemuan Forum Korban Likuifaksi Kelurahan Balaroa, Jumat (11/1/2019) malam.

Olehnya itu kata advokat senior ini, warga Balaroa tidak lagi menginginkan dibangunkan Huntara, tetapi langsung pembangunan hunian tetap (Huntap). Agar masyarakat bisa hidup tenang dan kembali membangun kepercayaan diri.

Kemudian menyangkut dana Huntara yang nilainya Rp500 juta per unit dengan 12 bilik tersebut, lebih baik dikompensasikan kepada korban likuifaksi, agar bisa membantu serta menyambung sendi-sendi kehidupan warga.

Tidak hanya itu, masyarakat Balaroa pun kata Rahman Kasim, menuntut agar hak-hak keperdataan warga yang lokasi mereka terdampak likuifaksi diberikan ganti rugi. Karena bagaimanapun, masyarakat masih memiliki hak atas lahan dan pekarangan tersebut, sekalipun pemerintah telah mengeluarkan peta, bahwa lokasi yang terdampak likuifaksi masuk dalam zona merah atau tidak bisa lagi dijadikan pemukiman warga.

“Permasalahan ini pun harus jelas, agar masyarakat tidak bertanya-tanya dan memiliki kepastian hukum,” tuturnya.

Termasuk pendistribusian logistik dan sembako terhadap warga korban harus berbasis data valid dan didistribusikan oleh pemerintah setempat.

Ditambahkan Rahman Kasim, pihaknya juga akan melakukan gugatan class action dengan melibatkan puluhan advokat di Sulteng.

“Yang jelas jika tidak ada kepastian hukum atas hak-hak keperdataan korban, maka kami akan menempuh segala upaya termasuk gugatan class action,” tegasnya.