DONGGALA KOTA PUSAKA: Kota Tua yang Kehilangan Kesaktiannya (Review Buku karya Jamrin Abubakar)

oleh -
oleh

OLEH: Zulkifly Pagessa (Direktur Donggala Heritage)


Membaca sejarah Kota Tua Donggala, seakan memandang keris dan pamor-nya dengan segala kesaktian yang dimilikinya. Seperti halnya keris sakti milik Pangeran Diponegoro yang bernama Kyai Nogo Siluman, yang konon memiliki pamor dari bahan meteorit.

Maestro seni lukis Indonesia, Raden Saleh ketika berada di negeri Kincir Angin pernah menyentuh keris Kyai Nogo Siluman ini dan merasakan aura kesaktian keris milik Pangeran Diponegoro tersebut. Keris Kyai Nogo Siluman ini telah resmi dikembalikan ke Indonesia oleh Kerajaan Belanda dan diserahkan langsung oleh Raja Willem Alexander  kepada Presiden Jokowi setelah lama tersimpan di Museum Volkenkunde di Leiden Belanda.
***
Saya tidak sedang membicarakan tentang keris, namun saya sedang membuat perumpamaan tentang keris tersebut dengan Kota Tua Donggala seperti yang dituliskan Jamrin Abubakar dalam buku setebal 223 halaman yang berjudul Donggala Kota Pusaka. Buku yang terbagi dalam lima bagian ini seakan merunut kurva sejarah Kota Tua Donggala yang pernah mencapai titik kulminasi tertinggi sejarahnya. Namun sayang pada bagian akhir kurva sejarah itu harus melandai untuk kemudian bergerak datar dalam keterpurukannya.

Narasi tentang kota tua di ujung barat Teluk Palu ini dituliskan kembali oleh Jamrin Abubakar dengan sangat baik, walau tidak linear dan runtut seperti kebanyakan literasi dan artikel sejarah yang ditulis oleh para akademisi  di Sulawesi Tengah. Namun, yang membedakannya adalah buku ini sarat akan data-data sejarah yang dengan sabar dan teliti dikumpulkan oleh Jamrin, baik dari artikel sejarah maupun hasil wawancara dengan narasumber yang juga adalah pelaku sejarah itu sendiri.

Dalam tulisan sederhana ini saya akan mengulas beberapa catatan penting dalam buku Donggala Kota Pusaka ini sebagai pengantar untuk membaca lebih jauh buku ini. Saya tidak akan mengulas atau membuat resensi buku ini, untuk menghindarinya menjadi spoiler atau membeberkan isi buku yang kemudian akan menghalangi siapapun untuk membaca buku ini. Saya hanya akan membuat beberapa catatan penting dalam buku ini yang “kemungkinan“ belum ada dalam literasi lainnya sepanjang referensi pembacaan saya pribadi.

BAGIAN PERTAMA: PELAYARAN DAN PERDAGANGAN

Pada bagian ini dibuka dengan terminologi dari Paddonggalae‘ dan Maddonggala. Terminologi  atau pengistilahan yang digunakan dalam sistem perdagangan dimasa lampau yang menjadikan Pelabuhan Donggala salah satu hub penting dalam pelayaran dan perdagangan antar pulau di Nusantara dan mancanegara.

Istilah Paddonggalae’ pada dasarnya adalah istilah yang mengunakan bahasa Bugis, bahasa pergaulan yang dominan digunakan oleh masyakat di Kota Donggala, sehingga muncul istilah Bugis Donggala untuk etnis Bugis-Makassar yang bermukim di kota pelabuhan ini.

Jamrin secara harfiah menerjemahkan kata Paddonggalae’ ini adalah seseorang atau sekelompok orang yang komuter di Kota Donggala menggunakan perahu layar atau kapal motor. Sedangkan kata Maddonggala adalah istilah yang diperuntukkan untuk semua aktifitas perniagaan maritim yang menjadikan Kota Donggala sebagai tujuannya. Singkatnya, semua aktifitas perdagangan dan jual beli yang dilakukan oleh Paddonggalae’ disebut dan diistilahkan dengan kata Maddonggalae.

Pada bagian pertama ini juga Jamrin menuliskan kembali beberapa catatan penting tentang posisi penting Kota Donggala dalam jaringan pelayaran dan perniagaan laut internasional, salah satu diantaranya adalah Peta Navigasi Cina yang bertarikh 1430. Dalam catatan navigasi Cina yang diangkat kembali oleh riset J.V. Mills pada Jurnal Archipel volume 18 yang diterbitkan tahun 1979, yang menyebut Donggala dengan nama Tung Chia La.

Hal menarik lainnya pada bagian pertama dari buku ini adalah “Berangkat Haji Melalui Pelabuhan Donggala”. Jamrin dengan lugas menarasikan proses panjang masyarakat di Kota Donggala kala itu untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu melakukan perjalanan ibadah haji.

Perjalanan ibadah haji menggunakan kapal laut menuju Kota Mekkah memakan waktu lebih dari tiga bulan lamanya. Bagi generasi saat ini, akan sulit membayangkan betapa susahnya perjalanan berhaji dimasa itu. Jamrin juga melampirkan sebuah foto tua koleksi Tropenmuseum Belanda dua orang dari Donggala yang berhaji sekitar tahun 1887 yang dipotret oleh Snouck Hugronje.

BAGIAN KEDUA: SOSIAL POLITIK DALAM PEMERINTAHAN

Hal menarik yang diangkat Jamrin Abubakar pada bagian kedua buku ini adalah “Donggala : Ibukota Afdeling Midden Celebes”. Di bagian ini, Jamrin menulis tentang pembentukan Afdeling Midden Celebes, pada tahun 1904 yang beribukota di Donggala. Afdeling yang setingkat Kabupaten di jaman Kolonial Hindia Belanda tersebut dipimpin oleh A.J.N. Engelenberg selaku Asisten Residen pertama di Donggala pada tahun 1905 – 1908. Secara rinci Jamrin juga memberikan data para Asisten Residen berikutnya yang memimpin Afdeling Midden Celebes tersebut. Memasuki jaman pendudukan Jepang Asisten Residen ini lalu berganti dengan sebutan menjadi Ken Kanriken yang kala itu di jabat oleh Yoshida. Pada bagian kedua ini, hal yang juga sangat menarik diangkat oleh Jamrin adalah sub-bagian “Ketika Kaum Buruh Membangun Donggala”.

Di semua kota-kota pelabuhan Nusantara, kaum buruh memiliki peran strategis dalam pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh pelayan dan perniagaan laut, demikian pula halnya dengan Kota Donggala. Dalah satu tokoh penting pergerakan organisasi kaum buruh yang juga aktif dalam dunia politik di Kota Donggala yang diangkat oleh Jamrin adalah Sjukrie Ma’ien.
Pria kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1923 ini adalah aktor sandiwara yang datang ke Donggala sekira tahun 1940-an. Sjukrie Ma’ien yang merupakan pemain Kelompok Sandiwara Nusantara tersebut kemudian bertemu dan menikah dengan Sofiah yang juga aktor sandiwara asal Yogyakarta dan menetap di Donggala hingga akhir hayatnya. Sebagai tokoh politik dari kaum buruh, Sjukrie Ma’ien pernah menghadiri pertemuan ILO (International Labour Organization) di Turin-Italia, Geneva-Swiss, Berlin dan Frankfurt- Jerman di era 1960-an.

Pada bagian ini juga Jamrin menuliskan beberapa catatan penting tentang keberadaan dan gerakan Partai Komunis Indonesia di Donggala  dengan para tokohnya seperti Abd. Rahman Maselo, Chairil Ruswanto, Sunaryo dan Zamrud yang kemudian di eksekusi di Donggala pada Mei 1967, pasca tragedi G30S-PKI 1965.

BAGIAN KETIGA: HERITAGE DAN JEJAK KOLONIAL

Pada bagian ketiga ini Jamrin menuliskan tentang serakan yang tersisa dari sejarah kolonial di Kota Tua Donggala. Dibagian ini Jamrin menyajikan fakta-fakta miris tentang bangunan-bangunan dari era kolonial yang kondisinya dalam keadaan sangat mengenaskan. Beberapa diantaranya kini tinggal reruntuhan dan puing karena lapuk oleh usia dan diperparah oleh kejadian gempa bumi, tsunami dan likuifaksi pada tanggal 28 September 2018. Pada bagian ini dengan detil Jamrin menuliskan fakta sejarah dan kondisi bangunan-bangunan heritage tersebut.

Hal yang juga sangat menarik diulas Jamrin pada bagian ini adalah kisah tentang Kapten Kapal Willem van den Berg (1887-1930) nakhoda kapal S.S. Swartenhondt yang wafat dan dikuburkan di Kota Donggala. Willem van den Berg adalah salah satu kapten dari armada kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij  (KPM) yang melayari Jalur 14 KPM di Selat Makassar. Ia wafat di atas kapal S.S. Swartenhondt setelah menderita demam tinggi sesaat sebelum kapal tersebut berlabuh di Pelabuhan Donggala.

Apa yang Jamrin sajikan dalam tulisan pada bagian ini sangat menarik karena ia kemudian berusaha untuk berkomunikasi dengan keluarga Kapten Kapal Willem van den Berg yang kini berdomisili di Utrech,  Belanda. Upaya Jamrin untuk mendapatkan data-data tentang Kapten Willem van den Berg mempertemukannya dengan cucu dari sang kapten yang ternyata diberikan nama yang sama dengan untuk mengenang Kakeknya yang wafat dan dikuburkan di Kota Donggala.