Oleh: Halim HD. – Networker Kebudayaan
Ada suatu sudut pandang yang selama ini telah mengakar dan melembaga di dalam cara pikir di lingkungan masyarakat, khususnya kalangan kaum seniman dan pengelola kesenian, produser dan event organizer (EO), bahwa suatu kota belumlah dianggap sebagai kota yang memiliki wibawa sebagai kota kebudayaan jika belum memiliki gedung kesenian. Bahkan kita juga diajak untuk lebih menyepakati tentang suatu kota dengan kelengkapan lain dalam kaitannya dengan penyebutan suatu kota yang berpredikat berkebudayaan, seperti adanya galeri, museum dan berbagai sarana lainnya yang berkaitan dengan kehidupan kesenian, seperti adanya penerbitan buku serta media massa dan bahkan jurnal kebudayaan.
Di kalangan birokrat dan politisi khususnya di negeri ini, semuanya itu sesungguhnya boleh dikatakan jauh dari wacana pemikirannya. Mungkin ada, tapi hanya segelintir, dan itupun dengan perspektif sebagai “proyek bangunan” yang mengandung nilai ekonomis, dan bukan sebagai proyek kebudayaan untuk meningkatkan harkat martabat warga dan masyarakat. Ali Sadikin adalah anomali bagi kita semuanya, ketika dia menjadi gubernur DKI Jakarta, dan menunjuk kaum seniman untuk menyusun kelembagaan did alam pengelolaan kesenian dan sekaligus membangun sarana kesenian dengan dasar konsep yang dating dari kebutuhan seniman. Itulah munculnya Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dimulai pada tahun 1967 terus berkembang dan dilengkapi dengan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Awalnya Ali Sadiikin meminta sejumlah pemikir kebudayaan membentuk Akademi Jakarta, yang disodorkan oleh Prof. Sutan Takdir Alisjahbana, Soedjatmoko (penasehat bappenas bidang kebudayaan), Mohammad Said (tokoh pendidikan Taman Siswa), Prof. Mukti Ali (pakar agama), Affandi (maestro Senirupa). Itulah beberapa figur di antara sepuluh anggota Akademi Jakarta (AJ) yang bertugas memberikan analisis dan konsep tentang arah kebudayaan kota. AJ ini pula yang menunjuk formatur Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk menyusun kepengurusan dan komite-komite DKJ.
Ditangan Gubernur yang sangat langka ini, Jakarta dikenal di Asia sebagai fenomena kota dengan Art Center yang menciptakan ruang untuk penyajian berbagai wujud kesenian yang fenomenal pula. Tapi yang paling menarik lagi, opini-opini kaum seniman, misalnya Satoh Makoto, salah satu dedengkot teater pembaharuan di Jepang yang pada awal tahun 1970-an sempat singgah pertama kali di TIM, menyatakan, TIM merupakan ruang seniman dan kehidupan seni yang inspiratif, sederhana dan nyaman, akrab. Itu pada tahun 1970-an. Satoh Makotoh yang menjadi salah satu pendiiri dan sutradara The Black Tent Theatre memuji pengelolaan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Solo yang dikenal dengan sebutan Taman Budaya Solo (TBS), yang dianggapnya sangat tidak birokratis, santai dan akrab. Jadi bukan hanya mempertimbangkan kebutuhan teknikal dari segi seni pertunjukan dan jenis kesenian lainnya.
Gambaran tentang lingkungan kesenian yang santai, akrab, informal dan tidak birokratis selalu menjadi perbincangan di kalangan kesenian. Dalam konteks itulah para disainer-arsitek penting memikirkan bagaimana suatu disain yang bisa menciptakan suatu ruang publik yang memiliki makna sosialitas, yang menjunjung nilai-nilai yang mampu dan bsia menciptakan rasa kebersamaan, rasa kesetaraan. Berkaitan dengan perkembangan zaman, bukan lagi saatnya kini muncul sikap elitisme figur seniman yang nongkrong di puncak piramidal. Dengan kata lain, suatu disain srsitektur yang demokratis sangat dibutuhkan di dalam lingkungan kesenian. Melalui ruang kehidupan kesenian, setiap seniman dan warga bisa belajar secara bersama sebagai warga kebudayaan yang setara. Tentu bahwa kita bisa dan harus menghormati kompetensi dan harkat prestasi serta kapasitas profesional sebagai nilai dari proses kerja. Di dalam masyarakat yang memegang nilai-nilai demokratis dan melandasi dirinya dengan rasa keadilan, respek kepada kompetensi adalah salah satu nilai yang utama yang berkaitan dengan jam terbang dan mutu dari proses kerja yang berwujud kepada hasil karya yang dijadikan tolok ukur.