QUO VADIS DEWAN KESENIAN SULTENG ?

oleh -
oleh
Halim HD

Oleh: Halim HD. – Networker Kebudayaan


Kenapa pula suatu lembaga kesenian bagi kaum seniman bisa menjadi sejenis rezim? Adakah sesuatu yang keliru di dalam mekanisme lembaga itu, ataukah situasi-kondisi sosial-politik yang ada juga ikut menciptakan lembaga itu menjadi jumud, membeku dan segelintir orang mengangkanginya hanya demi status quo, agar dirinya disebut seniman atau budayawan? Jika lembaga itu menjadi rezim, sejauh manakah rezim kesenian ini melakukan praktek atas nama “ideologi kesenian” yang dimilikinya? Ataukah dia hanya mengangkangi posisi itu hanya sekedar status quo yang kosong melompong dan hanya menjual stempel posisi sekedar untuk mendapatkan undangan suatu pertemuan kesenian?

Sejak Dewan Kesenian (DK) yang pertama kali didirikan di Jakarta pada tahun 1968, dan lalu pada awal tahun 1970-an bermunculan DK-DK dibeberapa kota seperti Surabaya, Makassar, Medan, Solo, Yogyakarta, dan pada tengah tahaun 1980-an saya menyaksikan terjadinya kemerosotan posisi-fungsi DK akibat situasi-kondisi social-politik, yang tentunya sangat kuat kaitannya dengan aliran dana kegiatan. Relasi psikologis politis itulah yang merupakan ganjalan utama di dalam mekanisme hubungan antara pemda dengan DK. Kondisi ini kian tambah memberat sehubungan dengan berbagai tuntutan kaum seniman, sementara pemda lebih cenderung untuk mempertahankan posisi-fungsi dinas kebudayaan untuk memegang peranan di dalam pengelolaan kesenian.

Sesungguhnya antara DK dengan dinas kebudayaan bisa saja membagi ruang kerja masing-masing. Tapi masalah ini nampaknya tak pernah dipecahkan secara obyektif, dan masing-masing cenderung untuk menyodorkan dirinya sendiri. Di balik itu, tentu saja berkaitan dengan pengelolaan dana. Masalah uang adalah masalah krusial yang tak pertnah terpecahkan di negeri ini, betapapun suatu lembaga telah dianggap memiliki sistem manajemen. Selama ini memang DK-DK kesenian memiliki kelemahan utama, yakni manajemen pelaporan serta pertanggungan jawab keuangan.