Oleh: Halim HD. – Networker Kebudayaan
Suatu karya seni tak pernah lepas dari lingkungan masyarakatnya, dia tumbuh dan berkembang bersama lingkungan sosial. Lingkungan sosial inipun bahkan ikut membentuk dan merangsang inspirasi bagi seniman yang memiliki kepekaan sosial. Jika kita mengingat posisi-fungsi kesenian, kita mungkin ingat nama Chairil Anwar, atau Rendra dalam puisi dan teater, atau sejumlah seniman yang bisa kita jadikan tolok ukur di alam kaitan antara kesenian dengan tatanan nilai di dalam masyarakatnya. Itulah makanya kita sering pula mendengar dan bahkan ikut meyakininya bahwa kesenian memiliki fungsi di dalam masyarakat bukan hanya sekedar sebagai wujud dari segi estetika belaka. Di dalam dunia kesenian kita menemukan kandungan nilai kesenian sebagai suatu medium yang ikut menumbuhkan kesadaran dan juga ikut mengubah kondisi dan situasi.
Sudah tentu jika kita bicara soal fungsi kesenian di dalam menumbuhkan kesadaran kepada situasi dan kondisi dan pada sisi lainnya kesenian berperan di dalam perubahan sosial, itu bukan berarti bahwa kesenian bukan sebagai pemain tunggal. Konsekuensi logis bahwa kesenian berada di dalam dan di tengah-tengah masyarakat mengartikan secara subtansial bahwa kesenian menjadi bagian yang tak lepas dari berbagai interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Suatu novel atau puisi, teater, tari, musik, juga senirupa memiliki peran karena adanya suatu dorongan interaktif dengan masalah sosial politik, ekonomi, perubahan tata nilai kebudayaan, dan sebagainya. Kasus misalnya yang belum lama ramai tentang mural sebagai senirupa publik dan steeat art, menunjukan secara gamblang bahwa wujud dan kandungan isi mural memiliki pengaruh di dalam masyarakat. Dan produk mural inipun dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial melalui persepsi sang seniman yang menciptakannya.
Berangkat dari kilasan dasar pemikiran itu, dan membaca biografi seorang seniman Palu, Endeng Mursalin, yang telah memasuki dunia senirupa selama hampir 40-tahun, menunjukan konsistensi yang menarik. Dengan latar belakang teknikal sebagai pelukis yang mengagumi pelukis maestro Affandi, dia menekuni jalur seni lukis sebagai ekspresi dirinya dan sekaligus juga sebagai penopang dalam hidup keseharian. Bukan seniman apabila seseorang menabalkan dirinya dengan posisi itu jika dirinya tak memiliki rasa ingin tahu yang lebih luas. Dorongan untuk menjelajah kepada dunianya yang diyakininya itu seiring dengan perkembangan disiplin kesenian itu sendiri. Dan Endeng Mursalin merasa tak cukup jika seni lukis yang ditekuninya itu untuk mengekspresikan dirinya. Rasa ingin tahu, kuriositas yang membludak ikut membawa dirinya memasuki ekspresi yang lain, seperti performance art dan street art, dua jenis ekspresi yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1980-90an ikut ditekuninya. Bahkan jika kita menilik biografi seniman yang pernah merantau ke beberapa kota di Jawa ini, sepanjang dua dekade terakhir ini khususnya, Endeng Mursalin hampir identik dengan performace dan street artist.
Pada tahun 2001 menjelang Palu Indonesia Dance Forum (PID-Forum 2001) terjadi kebakaran pada suatu lokasi bangunan sederhana. Saya lupa nama lokasi itu. Yang menarik, setelah kebakaran yang tak memakan korban jiwa, dan api sudah diredakan, Endeng Mursalin esoknya melakukan pelacakan di sekitar lokasi, sambil mengamati berbagai hal, serta bertanya-tanya kepada warga setempat. Upaya ini sejenis riset, mencari sumber masalah dalam kaitannya dengan apa yang nanti menjadi karyanya performance art. Sehari setelah pelacakan dan juga pengamatan, Endeng Mursalin membenahi lokasi terbakar itu, dan memilih beberapa bagian dari puing-puing, di antaranya sebuah tempat buang air besar berwarna putih yang masih utuh. Di antara kesibukannya membantu persiapan PID-Forum, Endeng Mursalin menyiapkan publikasi fotocopy untuk performance art yang akan disajikannya pada malam berikutnya.