Oleh: Jamrin Abubakar (Pemerhati Sejarah dan Budaya)
(PENGANTAR: Tulisan ini tidak bermaksud melakukan pengkajian sejarah pelabuhan Donggala, tapi hanyalah sebuah apresiasi secara sepintas sebagai refleksi terhadap pembaca).
DONGGALA salah satu kota niaga yang dikenal sebagai kerajaan maritim bernama Banava tempo doeloe yang kini telah berusia sekitar 7 abad. Usia tua itu mengacu pada catatan yang menyebutkan, Donggala abad 14 sudah sering disinggahi kapal niaga untuk perdagangan dan pencarian kayu cendana oleh orang-orang Eropa.
Bahkan bisa jadi, jauh sebelum abad ke 14, Donggala sudah menjadi salah pusat peradaban cukup penting di Nusantara, mengingat adanya permukiman cikal bakal terbentuknya kota itu sudah cukup lama. Menurut cerita turun-temurun, di sebelah barat terdapat permukiaman tua (Kayunaya), tepatnya Ganti (dulu Pudjananti). Dahulu kala, permukiman yang kini jadi kota masih merupakan laut teluk. Konon air laut sampai di Ganti, sehingga pelabuhan lama berada dalam teluk yang kini jaraknya 2 kilometer lebih dari Pelabuhan Donggala sekarang. Bukti-bukti arkeologi, menunjukkan di sekitar perkampungan menuju Ganti sangat mudah ditemkan pecahan-pecahan kerang berserakan.
Di kampung Ganti terdapat tempat bernama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis Donggala berarti “galangan perahu atau kapal”. Konon, di situlah kapal Sawerigading yang dikenal dalam sure I Lagaligo dari Tanah Luwu yang dikenal sebagai petualang dan penguasa lautan dengan ratusan armada setiap melakukan pelayaran ke berbagai kawasan. Pernah berlabuh dan menyangga kapalnya di tempat itu untuk diperbaiki. Setelah kedatangan Sawerigading di Ganti ia melanjutan pelayaran ke Kerajaan Bangga dan kemudian ke Sigi di Teluk Kaili yang kala itu, Lembah Palu juga masih berupa perairan laut teluk.
Pelayaran tersebut bermaksud menjalin persahabatan dan tak terkecuali bermaksud mencari wanita-wanita cantik untuk dijadikan istri. Tapi selama di Tanah Kaili, Sawerigading gagal mengawini Ngilinayo, ratu Sigi, karena saat meminang tiba-tiba saja terjadi bencana alam dahsyat (gempa bumi), sehingga pembicaraan pinang-meminang berubah jadi saling menyelamatkan diri dan berakhir menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Menurut legenda, akibat bencana itulah kemudiaan perairan teluk yang kini kota Donggala dan kota Palu mengering, setelah air laut surut dan sebagian teluk tertimbun tanah. Penduduk di punggung-punggung pegunungan pun mulai turun ke lembah bekas laut itu sebagai pemukiman baru secara turun temurun hingga sekarang.
Benar-tidaknya cerita ini, memang belum dapat dipastikan. Tapi yang jelas bila dihubung-hubungkan beberapa nama tokoh dan tempat yang disebutkan dalam kitab Bugis Kuno, I Lagaligo beberapa bagian menyebut nama Pudjananting sebagai salah satu wilayah Sawerigading dalam melakukan petualangan dimana I Lagaligo putra Sawerigading melakukan perkawinan dengan seorang wanita bernama Karaeng Tompo di Pudjananting. Ada pula disebutkan nama Nyilina Iyo yang di di Tanah Kaili atau tepatnya di Kerajaan Sigi dikenal sebagai raja perempuan pertama di kerajaan itu. Cuma saja dalam kitab tersebut, Nyilina Iyo dimaksud adalah seorang laki-laki sebagai raja Sunrariaja.
Kitab bahasa Bugis yang telah diterjemahkan ke Bahasa Belanda oleh R.A. Kern tahun 1936 yang kemudian oleh La Side dan Sagimun M.D diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Gadjah Mada University Press, 1993, sangat menarik diteliti lebih lanjut. Beberapa nama tempat disebutkan di dalam suatu peristiwa, sulit diinterpretasikan atau dicocokkan dengan nama-nama tempat yang ada sekarang, kecuali beberapa daerah lainnya. Mungkin nama-nama tempat dalam peristiwa ratusan tahun silam itu telah berubah sesuai perkembangan masyarakatnya.
Salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananting. Mungkin yang dimaksud itu adalah Pudjananti (sekarang: Ganti), mengingat orang Kaili dalam melafalkan suatu nama berakhiran ng selalu tidak disebutkan, sehingga Pudjananting itulah disebut Pudjananti. Begitu pula sebutan Sawerigading dalam bahasa Bugis orang Kaili mengeja menjadi Saverigadi dengan menghilangkan ng. Dalam kitab tersebut, bisa memperkuat kebenaran cerita rakyat kalau Sawerigading pernah menambatkan perahunya di Ganti. Kalau memang benar, berarti jauh sebelum itu, di daerah sekitar Donggala sekarang ini telah menjadi permukiman sejak lama.