Oleh: Jamrin Abubakar (Pemerhati Sejarah dan Budaya)
Donggala merupakan kota maritim pertama dibangun secara modern di Sulawesi Tengah yang memiliki sejarah panjang sejak ratusan tahun silam. Dalam catatan Navigasi Cina menyebutkan, tahun 1430 kapal sudah berlayar dari daratan Cina menjadikan Donggala sebagai bagian dari rute pelayaran terakhir di Sulawesi.
Jalur pelayaran melalui rute dari Sulu-Mindanau dengan Brunei, kemudian ke Mangkaliat. Mangkaliat itu di Kalimantan Timur kemudian menyeberang ke Donggala. Tujuannya mereka itu untuk mengadakan perdagangan barang-barang keramik dan juga mencari rempah-rempah. Dengan seringnya Donggala dijadikan rute pelayaran seperti itu, mengundang bangsa-bangsa di Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Norwegia, dan juga beberapa negara di Asia yang menjadikan Donggala sebagai sasaran perdagangan.
Nah, dengan adanya rute pelayaran, Belanda mengambil kesimpulan bahwa Donggala ini harus menjadi satu daerah kekuasaan, dalam arti harus ada pemerintahan di sini. Kenapa? Karena Donggala memiliki potensi, terutama potensi secara hinterland menjadi pendukung pelabuhan itu ada banyak. Ada damar, ada kopra, ada rotan dan kayu, sehingga menjadi daya tarik bangsa asing.
Sejak tahun 1892 atau akhir abad 19, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan Posthouder di Kota Donggala. Tujuannya Poshouder ini adalah penjaga pantai di sepanjang Teluk Palu yang memantau kapal-kapal asing yang masuk ke daerah Teluk Palu, termasuk kawasan Selat Makasar. Poshouder itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya pemerintahan yang namanya Afdeling Donggala.
Afdelling Donggala ini yang menguasai wilayah Sulawesi Tengah, sehingga sejak tahun 1904, itu sudah menjadi pusat pemerintahan Sulawesi Tengah yang membawahi wilayah Poso, Tolitoli, sebagian juga Banggai. Pejabat pemerintah dinamai Asisten Residen menempati rumah dinas di sebuah kawasan kini dikenal Kelurahan Gunung Bale. Bekasnya masih tersisa berupa tangga dan jalan dari bekas bangunan yang dulu memiliki ciri khas kolonial dengan perpaduan tradisi.
Terkait Pelabuhan Donggala itu, merupakan pelabuhan terbesar ketiga pada awal abad 20 di Pulau Sulawesi. Pada masanya merupakan kategori kota penting dan modern setelah Makassar dan Manado. Berdasarkan data-data kolonial itu, Donggala sejak itu jadi penghasil kopra terbesar kedua di Indonesia Timur. Ditambah kopra terkumpul dari berbagai kawasan wilayah Pantai Barat dari Buol, Toli-toli sampai Pasangkayu yang kini masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat, semua kopra itu ditampung di Donggala. Selain itu, di kawasan Pantai Barat terdapat gudang pengumpul di Tanamea Banawa Selatan, Tompe Sirenja dan Sabang Kecamatan Dampelas. Gudang-gudang itu merupakan penyangga gudang coprafonds atau Yayasan Kopra yang kelak dikenal PKKD (Pusat Koperasi Kopra Daerah) yang ada di Kota Donggala.
Puncak perdagangan kopra pada awal abad 20 itu disertai oleh pemerintahan Belanda melakukan kontrak dengan Kerajaan Banawa. Kenapa Donggala yang menjadi daya tarik Belanda, karena di Donggala terdapat satu kerajaan yang namanya Banawa memiliki wilayah cukup luas. Dari wilayah Pasangkayu sampai di perbatasan Toil-Toli itu merupakan wilayah Kerajaan Banawa. Sejak tahun 1904 antara pemerintahaan Hindia Belanda dengan Kerajaan Banawa itu sudah ada semacam teken kontrak dalam hal mengurus masalah pajak, masalah pertanian, pengelolaan hasil bumi dan lainnya.
Ketika itu pemerintah Belanda menangani administrasi pemerintahan secara modern. Mulai dilakukan penataan secara teratur dengan bentuk papan catur atau pola berkotak-kotak lazimnya penataan kota kolonial di berbagai wilayah Nusantara dan tidak memiliki pagar. Kenapa tidak memiliki pagar terhadap bangunan-bangunan yang ada? Itu dilakukan agar memudahkan akses barang dari pelabuhan ke kawasan kota yang hampir seluruh permukiman tua itu merupakan pusat perdagangan dengan aktivitas yang padat pada masanya.
Donggala mengalami beberapa fase kejayaan. Fase kejayaan yang dimaksud yaitu zaman pemarintah Hindia Belanda, ada puluhan kapal asing yang datang berlabuh. Bukan hanya dari Hindia Belanda, tapi juga kapal Inggris, Spanyol, Portugis, Norwegia dan beberapa negara di Eropa Barat itu melakukan bongkat muat barang di pelabuhan. Kapal-kapal dari luar negeri yang berlabuh mendatangkan barang-barang produksi modern dan sebaliknya memuat hasil bumi, seperti kopra, kayu, dalam hal ini kayu hitam dengan damar menjadi komoditi ekspor paling banyak.
Di satu sisi pernah mengalami keterpurukan ketika masuknya pemerintahan Jepang. Penurunan drastis saat Jepang tidak ada pembangunan karena misinya melakukan perang ekspansi dalam arti memperkuat kekuatan perang di Asia Tenggara. Akibat perang, rumah Asisten Residen menjadi sasaran pengeboman setelah direbut oleh pemerintah Jepang.