Washington, Posrakyat.com – Tsunami yang menerjang kawasan pesisir Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018), masih dipertanyakan sejumlah pihak. Hal tersebut lantaran tidak adanya peringatan kebencanaan dari tsunami yang disebabkan oleh aktivitas vulkanologi erupsi Anak Krakatau tersebut.
Hal itu juga yang menjadi sorotan media asing, NBCnews dalam laporannya, Senin (24/12) waktu setempat, berjudul Mengapa tsunami menerjang Indonesia tanpa peringatan.
Direktur Pusat Penelitian Tsunami Universitas California Selatan Costas Synolakis menyebut, tsunami yang terjadi di pesisir wilayah Banten dan Lampung tersebut bukanlah tsunami pada umumnya yang terjadi karena aktivitas tektonik atau gempa bumi. Tsunami kali ini terjadi karena aktivitas vulkanik.
Sementara, sebagian besar tsunami didahului aktivitas seismik yang memungkinkan untuk dilakukan beberapa peringatan. Namun sayangnya, para ahli menyebut, rangkaian faktor menyebabkan dampak bencana terjadi saat tsunami melanda.
Tsunami yang terjadi antara Pulau Jawa dan Sumatra itu diketahui disebabkan Anak Gunung Krakatau yang telah aktif sejak Juni. Setidaknya, ada dua teori yang menyebabkan letusan memicu tsunami, pertama, yakni tanah longsor di bawah air atau semburan lava cair yang menyebabkan perpindahan. Tapi, para ahli mengatakan, kemungkinan bersar gelombang dipicu oleh tanah longsor.
“Ini bukan tsunami biasa. Ini adalah tsunami vulkanik, itu tidak memicu adanya peringatan. Jadi, dari sudut pandang itu, Pusat Peringatan Tsunami pada dasarnya tidak berguna,” ujar Costas Synolakis.
Synolakis melanjutkan, karena dekatnya Anak Krakatau dengan pantai, tsunami pada Sabtu (23/12/2018) kemarin kemungkinan melanda 20-30 menit setelah terjadi aktivitas vulkanologi.
Profesor emeritus ilmu bumi di Universitas Northwestern, Emile Okal, menyebut gunung berapi adalah sesuatu yang terus hidup. “Ini adalah sesuatu yang secara geologis tidak dalam kondisi stabil kapan pun,” ujar Emile yang telah mempelajari tsunami selama 35 tahun.