PosRakyat – Dalam rangka mencegah paham radikalisme, Kasubdit IV Intelkam Polda Sulteng Kompol Safrudin menghimbau kepada masyarakat khususnya para orang tua untuk berhati hati dalam memilih tempat pembelajaran anak. Pasalnya kata dia, banyak tempat pembelajaran namun secara formal maupun material jauh dari harapan dan sangat menghawatirkan.
Baca Juga: Polri dan BPJS Kesehatan Sepakat Tingkatkan Pelayanan Kesehatan Pengguna Jalan
Sarifudin menyebutkan, Khusunya di Sulawesi Tengah sendiri masih ada yang menamakan “Pondok Pesantren” (Ponpes), namun dikelola oleh orang-orang yang mempunyai tujuan khusus. Bahkan kata dia dalam proses belajar mengajar materi yang diberikan hanya doktrinisasi dan materi logika ditiadakan.
Baca Juga: BMKG : Sejumlah Wilayah Waspada Cuaca Ekstrem, Ini Daftarnya
”Ponpes abal-abal ini akan menghasilkan santri-santri yang tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni, bahkan akan menciptakan manusia yang tidak menerima perbedaan dalam kehidupan sosial.” Terangnya, Kamis, 22 April 2021.
Baca Juga: DEMA IAIN Palu Mendukung Polri Berantas Ujaran Kebencian dan Hoax
Selain itu, ia juga meminta kepada masyarakat secara luas untuk berhati-hati dalam menyikapi hal ini, jangan sampai anak-anak yang diharapkan untuk bisa beragama dengan benar dengan ajaran yang begitu mulia, justru berbanding terbalik. Menurutnya, apabila doktrin telah tertanam maka yang terjadi adalah terciptanya generasi radikalisme fundamental. Padahal radikalisme jauh dari ajaran Islam itu sendiri.
“Islam turun dengan orientasi universal dengan membawa manfaat bagi semua mahluk, dalam Islam disebut Rahmatan Lil Alamin. Bukan saja memberi rahmat kepada umat Islam itu sendiri namun juga kepada semua manusia bahkan mahluk di alam semesta ini.” Ujarnya.
Safrudin menambahkan, Nabi Muhammad Rasulullah SAW sendiri mengharapkan umatnya untuk berilmu, sehingga Rasulullah memberikan suatu idiom “ Carilah Ilmu sampai ke negeri Cina “. Maksudnya adalah sebagai umat Islam harus memiliki ilmu pengetahuan, berjiwa saintis dan rasional.
“Secara umum ponpes abal-abal mendoktrin anak-anak yang masih labil, karena rata-rata umur mereka antara 9 sampai dengan 14 tahun. Dan dalam usia tersebut anak-anak sangat mudah untuk di doktrin, karena mereka belum menggunakan logika. Dan dalam pembelajaran mereka justru mengabaikan kurikulum yang berlaku di negara kita. Seperti contoh, ada yang menamakan ponpes meniadakan materi berhitung/matematika, ilmu pengetahuan Alam baik fisika maupun biologi. Semua mata pelajaran yang bersifat eksakta dihilangkan. Ini merupakan indikator bahwa dalam proses belajar mengajar hanya di fokuskan dalam doktrinisasi. Inilah yang harus diwaspadai,” terangnya.***
Penulis: Thio Jum