Oleh : MURDAN U. MARUNDUH1)
Pengamat Sejarah dan Budaya
Pengantar:
Dalam menyambut HUT ke 51 Provinsi Sulawesi Tengah yang jatuh pada 13 April 2015 yang lalu, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah memberikan Tanda Penghargaan kepada 15 tokoh bersejarah dari Sulawesi Tengah. Adapun profil dari kelima belas tokoh terseb
ut kemudian dirangkum dalam satu buku yang berjudul: “15 Tokoh Bersejarah Provinsi Sulawesi Tengah”.
Buku yang diberi kata sambutan oleh Gubernur Sulawesi Tengah Bapak Drs. H. Longki Djanggala M.Si, jelas menunjukkan kepedulian Pemda terhadap jasa-jasa beberapa tokoh yang pernah mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan sekaligus menjadi bagian dalam mengisi pembangunan daerah Sulawesi Tengah, baik sebelum maupun sesudah berdiri sendiri sebagai daerah otonom.
Sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Gubernur dalam sambutannya, bahwa buku ini setidaknya telah memberi informasi awal tentang tokoh-tokoh kita yang cenderung terlupakan zaman, sehingga kehadiran buku ini menjadi salah satu rujukan bagi penulis-penulis berikutnya.
Buku 15 Tokoh Bersejarah Provinsi Sulawesi Tengah ini merupakan buku serie ke empat dari tiga serie yang telah terbit sebelumnya yaitu : 9 Tokoh Bersejarah Sulawesi Tengah (2012), 13 Tokoh bersejarah Sulawesi Tengah (2013) dan 14 Tokoh Bersejarah Sulawesi Tengah (2014). Semua tokoh yang dimuat dalam keempat buku tersebut diatas, mendapatkan “Tanda Penghargaan” dari Pemda Sulawesi Tengah, sebagai ‘bukti’ nyata bahwa Pemda Sulawesi Tengah tidak melupakan mereka yang telah berjasa mengambil peran dalam mengisi pembangunan di Sulawesi Tengah melalui bidang pengabdian mereka masing-masing.
Khusus untuk daerah Mori, sejauh ini, hanya 4 (empat) tokoh yang mendapatkan penghargaan dari Pemda Provinsi Sulawesi Tengah yaitu : J.K Tumakaka, Pirau Marunduh, Theo Tumakaka dan Mosialo Tonigi (dari GPST).
Pirau Marunduh, Tokoh Politik dan Pejuang Kemerdekaan dari Mori, merupakan salah satu judul yang terdapat dalam buku 15 Tokoh Bersejarah Provinsi Sulawesi Tengah. Profil beliau ditulis secara apik oleh sejarawan muda berbakat, adinda Jamrin Abubakar.
Untuk menambah dan memperkaya informasi terhadap ketokohan bapak Pirau Marunduh, penulis menambahkan beberapa catatan-catatan kecil yang tertuang dalam tulisan ini yang semoga berguna bagi para peneliti sejarah lokal dimasa yang akan datang.
Selamat membaca !
Sekutu, setelah menyelesaikan persoalan administrasi yang menyangkut dengan selesainya Perang Asia Timur Raya, maka pemerintah Belanda mulai memperkuat kedudukan kekuasaan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) suatu pemerintahan sipil Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1949 dengan menata kembali
organisasi pemerintahan swapraja di Kolonodale. Kepala Pemerintahan Swapraja (raja) waktu itu dipegang oleh Mokole Owolu Marunduh Raja Mori XIII (1928-1950) sementara putranya Mokole Pirau Marunduh menjabat sebagai Sekretaris Kerajaan Mori (Zelfbestuurrder van Mori) 2)
merangkap Jaksa. Pengangkatannya sebagai Jaksa berdasarkan Surat Keputusan Kontrolir Kolonodale Drs Van Strien No.14 Tanggal 1 April 1946 dan dinyatakan berlaku terhitung mulai tanggal penetapannya 1 April 1946.
Melihat kondisi kesehatan Raja Mokole Owolu Marunduh yang kala itu dalam keadaan tua dan sakit-sakitan maka, Kontrolir Kolonodale Drs Van Strien menugaskan Mokole Pirau Marunduh dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Kerajaan Mori (Zelfbestuurder van Mori) untuk dan atas nama raja melaksanakan tugas pekerjaan Raja Mori. Penugasan ini dapat dibaca sebagai persiapan peralihan kekuasaan untuk menjadi Raja Mori kepada Mokole Pirau Marunduh bila suatu saat nanti Raja Mokole Owolu Marunduh dinyatakan tidak dapat melaksanakan tugas-tugas kerajaan atau dengan kata lain telah berhalangan tetap.
Jabatan baru sebagai Pelaksana Tugas untuk dan atas nama Raja Mori ini, kemudian mendapatkan pengabsahan dari pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Residen Manado Dr Marinus Boon No.1/3/21 Tertanggal 31 Maret 1946 yang ditetapkan mulai berlaku terhitung 1 April 1946.
Untuk mendukung dan melaksanakan kebijaksanaan Letnan Gubernur Jendral Hubertus Johannes Van Mook yang sangat giat mendorong agar segera direalisir perubahan ketatanegaraan dengan pembentukan Negara-negara bagian (federal) diluar daerah kekuasaan Republik Indonesia, telah diawali dengan dilaksanakannya Konferensi
Malino15-25 Juli 1946. Perutusan dari Sulawesi Tengah yang menghadiri Konferensi Malino ialah H. Katili (Buol) dan Loro Malindao (Poso) 3). Salah satu keputusan yang diambil dalam Konferensi tersebut, ialah akan dilaksanakan konferensi kedua yang akan membicarakan secara lebih terperinci mengenai pembangunan dan perwujudan susunan ketatanegaraan yang akan diselenggarakan di Denpasar, Bali. Tepat pada pukul lima sore tanggal 25 Juli 1946 Konferensi Malino ditutup.
Agar dapat merealisasikan rencana Van Mook diatas tentang gagasan pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), maka pemerintah Belanda mengundang para raja dan tokoh politik agar hadir pada Konferensi Denpasar di Bali yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 7 Desember 1946. Berdasarkan undangan tersebut, telah berkumpul perutusan dari berbagai daerah dan wilayah dari daerah Propinsi Timur Besar (Gouvernement van Grote Oost). Adapun rincian peserta konferensi adalah sebagai berikut : Sulawesi Selatan 16 orang, Sulawesi Tengah 5 orang, Sulawesi Utara 2 orang, Minahasa 3 orang, Bali 7 orang, Sangihe dan Talaud 2 orang, Maluku Utara 2 orang, Maluku Selatan 3 orang, Lombok 5 orang, Timor dan Kepulauan sekitarnya 3 orang, Flores 3 orang, Sumbawa 3 orang dan Sumba 2 orang. Jumlah seluruhnya 56 orang wakil-wakil daerah ditambah 15 orang yang diangkat sebagai wakil-wakil golongan minoritas (Belanda, Tionghoa dan Timur Asing lainnya). Dengan demikian jumlah seluruh perutusan Konferensi Denpasar sebanyak 71 orang 4). Adapun perutusan dari Sulawesi Tengah diwakili 5 orang yaitu : Wongko Lemba Talasa (Bestuur Assistent di Poso), Pirau Marunduh (Bestuur Assistent di Kolonodale)5), Daeng Maradja Lamakarate (Bestuur Assisten di Sabang/Donggala), Tjatjo Idjaza (Kepala Distrik Palu Timur) dan Inche Achmad Dahlan (Penilik sekolah di Banggai).
Konferensi yang tadinya direncanakan dibuka tanggal 7 Desember 1946, oleh Van Mook ternyata sengaja ditunda dan baru dibuka secara resmi pada 17 Desember 1946 yang berlangsung hingga 24 Desember 1946. Penundaan pembukaan dari jadwal yang sudah ditetapkan, merupakan taktik Van Mook karena menurut perhitungannya, kecil kemungkinan keberhasilan untuk memaksa para delegasi menerima gagasan Negara federal. Itulah sebabnya pada 11 Desember 1946 Van Mook secara sepihak mengumumkan “Keadaan Darurat Perang” – Staat Van Orlog en Beleg (SOB) untuk wilayah Sulawesi Selatan diikuti dengan aksi pembersihan yang dilaksanakan oleh pasukan khusus Detaschement Spesiale Troepen (DST) satuan berbaret merah yang beranggotakan 123 tentara dibawah komando Kapten Raymond Paul Piere Westerling. Misi utama Westerling ialah menumpas pemberontakan (counter-insurgency) dengan mengadakan pembunuhan terhadap penentang kekuasaan kolonial. Tindakan brutal ini semata-mata ditujukan untuk menciptakan ketakutan massa dan atas kejadian ini berimbas kepada anggota delegasi yang mengikuti Konferensi Denpasar untuk menerima gagasan Negara federal secara aklamasi. Para anggota delegasi kemudian menerima gagasan pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) yang terwujud pada saat penutupan konferensi 24 Desember 1946. Adapun tokoh yang terpilih menjadi Presiden NIT adalah Tjokorde Gde Rake Soekawati, Perdana Menteri ialah Nadjamuddin Daeng Malewa dan Ketua Parlemen sementara NIT ialah Tadjoeddin Noer.
Negara Indonesia Timur merupakan Negara boneka bentukan Belanda. Pada akhir Konferensi Denpasar tanggal 24 Desember 1946 disepakati berdirinya Negara Timur Besar. Namun pada tanggal 27 Desember 1946 namanya dirobah menjadi Negara Indonesia Timur.
Negara Indonesia Timur memiliki 13 wilayah otonom, yaitu Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sangihe dan Talaud, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, Maluku Utara dan Maluku Selatan. Wilayah-wilayah tersebut kemudian dihimpun dalam lima Keresidenan yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Lombok dan Maluku. Tempat yang dipilih menjadi ibu kota NIT ialah Singaraja, Bali. Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB), NIT menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Eksistensi NIT berakhir setelah RIS bubar dan melebur dalam NKRI pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sehubungan dengan timbulnya ketegangan politik yang semakin memanas karena pemilihan pengganti Raja Mori yang dilaksanakan di Tinompo pada 20 Februari 1950 yang penuh rekayasa jahat dan licik dan gigihnya penolakan rakyat terhadap Mainda Rumampuo sebagai Raja Mori, hasil pemilihan 20 Februari di Tinompo, sementara disisi lain timbul dukungan yang kuat dari golongan Bonto, Organisasi Profesi PGRI dan desakan kuat dari para pemimpin palili agar supaya Mokole Pirau Marunduh tetap menjabat sebagai Raja Mori sebagaimana yang telah diamanatkan melalui Surat Keputusan Residen Manado Dr Marinus Boon, Nomor 1/3/21 Tanggal 31 Maret 1946, maka untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, Komisi Swapraja Sulawesi Tengah yang ketika itu diketuai oleh Rajawali Muhamad Pusadan, Raja Toli-Toli, mengambil jalan aman dengan mengeluarkan Surat Keputusan Gabungan Raja-raja Onderafdeling Palu No. 9 Tanggal 17 November 1951 tmt 16 September 1950, Mokole Pirau Marunduh dipindahkan dari Kolonodale ke Palu sebagai Lanschaap Bestuur Assisten Biromaru (Palu). Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, Mokole Pirau Marunduh bersama keluarga dengan menggunakan kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) SS Batula berangkat menuju Posso. Keluarga ini ditempatkan di Kabin kelas I. Ikut mengantar ketempat tugas yang baru antara lain Maama (paman) Duhe Tumakaka kakak kandung dari Meneo Tumakaka dan naina (bibi) Roita Simbangu, dan tak ketinggalan Ue Sineko Tumakaka Posawa, nenek Penulis. Setibanya di Posso, selanjutnya dengan motor B.O 90 (kapal kecil peninggalan PD II) menuju Parigi. Di Parigi menginap beberapa hari disebuah penginapan kecil dekat pelabuhan sebelum melanjutkan perjalanan darat menuju Biromaru 6).
Penugasan ke tanah Kaili bagi Mokole Pirau Marunduh ternyata membawa hikmah dan berkah tersendiri bagi beliau dan keluarga. Di tengah situasi dan kondisi keamanan yang kurang kondusif pada saat itu, dengan adanya kegiatan gerombolan DI/TII yang dipimpin oleh Muhamad Nur al Rasyid 7) dengan daerah operasi yang berbasis disekitar Donggala, Surumana, Bambaira, Bambalamolu, Pengean, Pasangkayu sampai masuk ke wilayah Toli-toli, ternyata Mokole Pirau Marunduh dapat menunaikan tugasnya dengan sangat baik dan selamat tanpa gangguan apapun dari pihak gerombolan. Pada sisi lain, dalam relasi sosialnya, Mokole Pirau Marunduh memiliki kedekatan emosional dengan beberapa bangsawan di Biromaru antara lain dengan keluarga Lamakarate dan keluarga Karanjalemba. Pada saat itu, Biromaru masih sangat sepi. Kami tinggal disebuah rumah yang terbuat dari papan dekat sebuah jembatan yang dialiri sebuah sungai kecil. Dalam tugas sehari-hari, Mokole Pirau Marunduh dijemput pergi pulang dengan mobil ke Palu.
Selanjutnya dengan Surat Keputusan Kepala Daerah Sulawesi Tengah No.1521 Tanggal 10 Agustus 1952 tmt 11 Agustus 1952 Mokole Pirau Marunduh diangkat sebagai Lanschap Bestuur Assistent (Onderafdeling Donggala) melaksanakan tugas sebagai Kepala Swapraja (raja) di Tawaeli. Penugasan di daerah Tawaeli, Mokole Pirau Marunduh bersahabat dengan beberapa keluarga bangsawan di tempat ini antara lain, keluarga Lamakampali, keluarga Yotolembah dan keluarga Lamangkona.
Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Pemerintah Negeri (KPN) Donggala No.5 tanggal 1 September 1952 diperbantukan pada Kepala Pemerintah Negeri Donggala di Donggala. Beberapa saat setelah meninggalkan Tawaeli untuk bertugas di Donggala, rumah dinas yang berdiri tepat disamping kantor Swapraja yang ditempati oleh Mokole Pirau Marunduh dan keluarganya ludes dibakar gerombolan. Saat bertugas di Donggala, paman Yosef Posawa ikut tinggal di rumah.
Dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi di Makassar No.178/B.P Tanggal 13 April 1953 dipindahkan ke Kantor BKDH Donggala di Palu selaku Kepala Bagian Politik. Selama penugasan di Palu, Mokole Pirau Marunduh berhasil membangun relasi yang sangat kuat dengan keluarga para bangsawan di daerah ini antara lain keluarga Djanggola, keluarga Parampasi, keluarga Lamarauna dan keluarga Petalolo. Tahun 1954-1955 Mokole Pirau Marunduh diutus untuk mengikuti pendidikan KPPTP (B) di Malang (Jawa Timur). Pendidikan KPPTP (B) ini dikemudian hari ditingkatkan menjadi Kursus Dinas C (KDC). Beliau dan keluarganya kemudian berangkat ke Malang. Sekembalinya dari Malang, Mokole Pirau Marunduh terpilih menjadi Anggota Dewan Pemerintah Daerah Swatantra Donggala di Palu melalui Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Sementara Swatantra Donggala di Palu Nomor: Kep.29/D.P.R.D.S/SS. Seluruh rangkaian penugasan di tanah Kaili baru berakhir ketika Gubernur Sulawesi di Makassar melalui Surat Keputusan No.634/P.B Tanggal 23 November 1955 tmt 1 Desember 1955 dipindahkan dari Kantor Bupati KDH Tingkat II Donggala di Palu ke Kantor Bupati KDH Tingkat II Posso di Posso selaku Kepala Bagian Politik.
Selama penugasan di Posso yang dijalani oleh Mokole Pirau Marunduh dalam kurun waktu 10 tahun 7 bulan (Desember 1955 – Juli 1966) menjadi masa-masa yang indah untuk dikenang oleh Mokole Pirau Marunduh dan keluarganya. Betapa tidak, ketika Permesta memproklamasikan dirinya di Makassar pada 2 Maret 1957, Mokole Pirau Marunduh baru bertugas kurang lebih lima belas bulan di daerah ini.