Aduma Niaga hanyalah salah satu di antara beberapa bangunan bersejarah yang rusak berat. Tak kalah hancur akibat diterpa tsunami adalah gudang kopra peninggalan Belanda yang berada di pelabuhan Perak, Kelurahan Tanjung Batu, Donggala. Gudang lilinderis atau bergelombang sebanyak tiga unit berusia puluhan tahun ini tersungkur ke laut karena lokasinya amblas diterpa tsunami. Termasuk rumah penduduk sekitarnya juga hancur, sehingga tidak layak lagi. Gudang Coprafonds ini sejak beberapa tahun lalu statusnya masih dalam sengketa di Mahkamah Agung antara pihak PUSKUD dan IKKI (Induk Koperasi Kopra Indonesia) dan kini belum ada keputusan. Status sebagai cagar budaya pun belum ditetapkan walaupun secara arkeologis memenuhi syarat sesuai hasil kajian pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulteng sejak lama, cuma saja belum disahkan secara regulasi.
Rumah Tua Labuan Bajo Donggala yang dikenal rumah panggung berusia sekitar 200 tahun lebih tak kalah parah kerusakannya. Beberapa bagian dindin dan tiang penyanggah rusak saat sejumlah material berupa kayu-kayu dan perahu menghatam saat tsunami menerpa di kolong rumah. Demikian halnya bangunan Langgar Arab yang berusia tua itu juga rusak karena tiang dan bangunan induk tidak stabil, sehingga menurut Abdul Rauf Thalib, salah satu tokoh masyarakat disepakati akan dilakukan renovasi. Rencana renovasi tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan perbaikan dan penggantian beberapa bahan baku dengan tidak menghilangkan ciri khas semula. Kota Donggala yang pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda sangat kaya dengan bangunan sejarah yang secara undang-undang dapat dikategorikan cagar budaya. Hanya saja secara regulasi hingga kini belum ada satupun yang ditetapkan walaupun komunitas Donggala Heritage bersama Dewan Kesenian Donggala sejak lama mendorong pemerintah untuk menetapkan. Penyebabnya dalam program pembangunan budaya di lingkungan pemerintahan daerah tidak menjadi prioritas dan belum dibentuknya tim ahli penetapan cagar budaya sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Menurut Ketua Donggala heritage, Zulkifly Pagessa, secara kelembagaan perlu dilakukan penataan dengan dibentuknya tim ahli yang dikoordinasi dinas terkait dalam hal Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Donggala. Terabaikannya potensi cagar budaya karena tidak adanya proses menuju penetapan secara kelembagaan walaupun regulasi yang ada sangat jelas telah mengatur.
Dari hasil pendataan lapangan di Kabupaten Donggala terdapat banyak bangunan yang memiliki nilai sejarah dan berpotensi sebagai cagar budaya, terutama di kota Donggala. Namun sampai saat ini baru bangunan Masjid Tua Wani (Kecamatan Tanantovea) yang ditetapkan sebagai cagar budaya, sedangkan yang lainnya belum pernah ditetapkan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Selain Gudang Coprafont, Aduma Niaga dan Rumah Tua Arab, terdapat pula bangunan tua yang tak kalah nilai historisnya, yaitu Kantor KPM (PELNI) Donggala di Kelurahan Tanjung Batu, Kantor Douane (Bea Cukai) di Kelurahan Boya, Bekas Rumah Asisten Residen Donggala, Radio Pantai Donggala, Kompleks Kuburan Belanda di Donggala, Komplek Makam Raja-Raja Banawa di Ganti, Kompleks Makam Malonda dan Keluarga, Menara Suar Tg. Karang, Rumah Tuan Tjoa (bekas Pesanggrahan Belanda), Bekas Rumah Raja Banawa di Kelurahan Boya, Bekas Sekolah Cina di Kelurahan Boya, Kantor Pembantu Gubernur di Kelurahan Boya, Kantor Pembantu Bupati di Kelurahan Boya, Deretan Ruko Jalan Mutiara Kelurahan Boya, Bangku Taman tepi jalan (Jalan Rohana), Rumah Tuan Tjoa di Kelurahan Tanjung Batu, Rumah- rumah Etnis Arab (Badjamal) di Kelurahan Boya, dan lainnya.
Dari berbagai Objek Pemajuan Kebudayaan khusus cagar budaya tersebut perlu ditetapkan dan dikelola sebagai situs cagar budaya pada masa akan datang sebagai warisan budaya (heritage) Donggala penanda kota tua. Hal ini bagi tim PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) Kabupaten Donggala menganggap perlu dan segera dilakukan revitalisasi sejumlah bangunan tua sebelum mengalami kehancuran total. (JAMRIN ABUBAKAR)