Posrakyat.com – PERTUNJUKAN teater (dulu dikenal: tonil dan sandiwara) di kota Donggala pernah menjadi bagian mata rantai perkembangan kesenian-kebudayaan Nusantara.
Kemudian ada masa-masa tertentu mengalami kevakuman. Ketika kota-kota sezamannya tetap mengalami kemajuan, Donggala justru tak lagi diperhitungkan. Sewaktu roda perekonomian masih berputar, sosial budaya dan politik sedang mengalami kejayaan lewat jalur pelayaran Nusantara, Donggala berada dalam peta jaringan pelayaran selama ratusan tahun. Tetapi, perubahan demi perubahan secara global, akhirnya kota yang dikenal dengan kain tenunnya itu, mengalami pasang-surut dalam gelombang situasi politik hingga terpuruk dengan lenyapnya peran bandar niaga secara berangsur-angsur.
Padahal kalau membuka kembali memori peristiwa kerja kesenian tempo doloe di Donggala dikenal memiliki banyak kesenian tradisi. Tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang kemudian tak lepas dari pengaruh dari luar, kesenian tradisi setempat saling beradaptasi. Berbagai pergaulan budaya dari luar dengan mudah masuk dan dapat diterima, berbagai kelompok sandiwara terkenal pada zamannya menjadikan Donggala “kota wajib” yang disinggahi untuk melakukan pertunjukan. Sebut saja Dardanella, kelompok sandiwara legendaris asal Surabaya dengan bintang panggungnya yang cantik, Dewi Dja pernah datang ke Donggala tahun 1930-an (tidak diketahui tahun kepastiannya). Dardanella pimpinan Piedro asal Rusia, suami Dewi Dja pada zamannya (1930-an – 1950-an) merupakan kelompok sandiwara terkemuka di Indonesia. Melakukan pertunjukan keliling Nusantara hingga ke beberapa negara di Asia, Eropa dan berakhir di Amerika Serikat hingga bubar.
Kedatangan Dardanella di Donggala selama beberapa hari pertunjukan disambut gembira warga kota maupun warga dari kampung sekitarnya. Mereka beramai-ramai menyaksikan sandiwara yang pada zaman pemerintah Hindia Belanda merupakan hiburan rakyat paling digemari. Bila dibandingkan dengan sekarang, kedatangannya sama dengan ketika sebuah grup musik yang lagi tenar di Jakarta melakukan show atau konser ke daerah. Begitu pula sambutan masyarakat pada Dardanella. Maka sejak itu pula istilah “passandiwarae” sering terdengar di Donggala. Passadiwarae artinya, pemain sandiwara. “Kamu hanya bersandiwara,” begitu biasa orang menyebut bagi mereka yang sering bermain-main dalam suatu hal.
Selain Dardanella, rombongan sandiwara dari Minahasa dan Ende pada dekade yang sama juga tampil mementaskan sandiwara (tonil) di Donggala. Sambutan masyarakat pada sandiwara karena dianggap suatu gambaran atau cerminan berbagai realitas sosial masyarakat. Sandiwara yang memakai layar dalam setiap peralihan babak dan diselingi nyanyian serta iringan musik, merupakan ciri khas pertunjukan pentas drama zaman itu.